Mungkin dengan ada blog saya dapat memberi info yang baik terhadap para pembaca, dari segi ilmu computer, automotive dan sosial maaf jika ada salah - salah kata dan yang kurang pantas dari atikel yang sudah saya upload ke blog saya saya mungkin yang terbanyak atau yang terbesar dalam memberi info berita namun saya akan memberikan yang terbaik semampu saya . terima kasih kiki santoso

About this blog

Blog ini membahas dunia TI dan dunia automotive dan ada juga sisi sosial nya .....

saya tahu blog saya buka yang terlengkap namun saya hanya bisa memberi info yang bermanfaat dan memberikan yang terbaik sebisa mungkin .......

Total Tayangan Halaman

My campus

Entri Populer

teman saya yang mengikuti blog saya

Hubungan tuhan dengan cita - cita

Diposting oleh kiki santoso

Dengan demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada sudut pandang tertentu hakekat filsafat Jawa monotheisme pantheistis. Karena itu, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”.

Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.

Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan seringkali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Gusti adalah sumber energi, sedang kawulo cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”
ini apakah sama dengan wa nahnu aqrobu ilahi min hablil warid ??


Berdasarkan Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan adanya Tuhan. Mrk memanfaatkan sistem simbol guna memudahkan pemahaman.contoh pada kidung dhandhanggula,isinya: Ana pandhita akarya wangsit, koyo kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone,lawan galihing kangkung,watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam Jawa “tan kena kinaya ngapa”.


Pengertian “sesuatu yang tak tergambarkan” , mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, juga “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara qidam sekaligus baqo' , tak terbayangkan tapi punya energi maha luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratNYA . Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara tapi bukan udara pastinya yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti seru sekalian alam."alhamdulillahirobbil'alamien"

Hubungan saya dengan tuhan

Diposting oleh kiki santoso

Sebagai seorang muslim, kita memiliki keimanan yang harus terpatri dalam diri kita. Salah satu keimanan yang harus dipahami dan direalisasikan dalam keseharian adalah keimanan kita kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Dari segi bahasa, keimanan ini dikenal dengan Tauhid Rububiyyah, yang berarti mengimani Allah sebagai Rabb atau Pencipta dan Penguasa terhadap segala sesuatu.


Hal ini juga berarti mengimani bahwa tidak ada saingan dalam kekuasaan-Nya, dalam pemerintahan-Nya. Hanyalah Allah yang memberikan segala-galanya dan tiada sesuatu-pun yang dapat melakukan kebaikan dan keburukan kecuali dengan se-izin-Nya. Allah berfirman:
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yunus: 107) - (hdn, 8/5/2003)

Dengan keimanan ini berarti kita beritikad bahwa Allah ialah Tuhan yang menciptakan alam, memeliharanya, memberi rizki, segala-galanya di bawah pengetahuan-Nya, kehendak-Nya, dan Kebijaksanaan-Nya yang tidak terhingga. Hakikat tauhid ini terdapat pada Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 258-260.
Sebagaimana yang kita ketahui, setiap manusia itu memiliki fitrah atau semacam naluri dasar yang dijadikan oleh Allah pada diri setiap manusia. Di mana pada fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan membutuhkan adanya Tuhan Sang Pencipta. Sebagaimana yang Allah firmankan:
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Luqman: 25)

Dengan kecenderungan fitrah inilah manusia - bagaimanapun ingkarnya dia - ketika ia dalam keadaan terjepit, maka tetap akan mengakui keberadaan Allah. Allah berfirman:
"Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus." (QS. Luqman: 32).

Fitrah manusia yang demikian ini akan selalu tetap kondisinya seperti ini. Bagaimanapun keadaan manusia, pada dasarnya ia akan tetap mempercayai keberadaan Allah sebagai sang Pencipta. Allah berfirman:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar Rum: 30)