Dengan demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada sudut pandang tertentu hakekat filsafat Jawa monotheisme pantheistis. Karena itu, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”.
Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.
Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan seringkali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Gusti adalah sumber energi, sedang kawulo cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”
ini apakah sama dengan wa nahnu aqrobu ilahi min hablil warid ??
Berdasarkan Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan adanya Tuhan. Mrk memanfaatkan sistem simbol guna memudahkan pemahaman.contoh pada kidung dhandhanggula,isinya: Ana pandhita akarya wangsit, koyo kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone,lawan galihing kangkung,watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam Jawa “tan kena kinaya ngapa”.
Pengertian “sesuatu yang tak tergambarkan” , mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, juga “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara qidam sekaligus baqo' , tak terbayangkan tapi punya energi maha luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratNYA . Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara tapi bukan udara pastinya yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti seru sekalian alam."alhamdulillahirobbil'alamien"
Posting Komentar